PENDEKATAN KECAKAPAN

HIDUP PADA KEAKSARAAN FUNGSIONAL

oleh :

Abdul Hamid

Pendidikan keberaksaraan mengandung makna bahwa setiap warga masyarakat penyandang buta aksara berhak memperoleh dan memiliki pengetahuan dasar, keterampilan dasar serta pembentukan sikap melalui layanan program pendidikan keaksaraan. Untuk memenuhi harapan tersebut perlu dilakukan kegiatan pembelajaran, pelatihan, dan bimbingan belajar terhadap masyarakat buta aksara agar menguasai keterampilan keaksaraan yang juga berorientasi pada keterampilan fungsional.

KETERAMPILAN KEAKSARAAN

Pengetahuan tentang keterampilan keak-saraan merupakan upaya pembelajaran yang diawali dengan pengenalan huruf, angka dan cara penulisannya sampai pada kemampuan warga belajar keaksaraan fungsional dalam membaca, menulis dan berhitung. Keterampilan keaksaraan akan tercapai apabila warga belajarnya telah dapat mengenal huruf, angka, membuat suku kata, merangkai suku kata menjadi sekata hingga dapat membaca, menulis dan berhitung. Pendekatan yang dipilih adalah melakukan pembelajaran keaksaraan yang partisipatif disertai penentuan bahan belajar yang fleksibel, yang secara tematik terpadu dengan aktivitas keseharian warga belajar yang melingkup pada minat dan kebutuhan belajarnya, potensi dan karakteristik lingkungan, serta situasi belajar pada saat itu. Ketuntasan belajar keaksaraan oleh warga belajar terukur dari kemampuan dasar yang meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, berbahasa Indonesia dan memiliki keterampilan bermatapencaharian atau kecakapan hidup yang bermakna.

Sudah lama orang menyadari bahwa mengajarkan membaca huruf saja tidak begitu menarik.Karena itu dicari upaya yang sekiranya akan membuat orang tertarik untuk belajar membaca dan menulis. Salah satu persyaratan yang harus ada dalam program keaksaraan fungsional adalah memadukan keaksaraan dengan pekerjaan misalnya dengan pertanian.industri, pertukangan, kerajinan. Besar kecilnya atau baik tidaknya keterpaduan tergantung pada homogenitas pekerjaan suatu kelompok dan tingkat ketepatan atau tingkat kesesuaian antara konten dan kurikulum serta masalah yang dihadapi oleh orang-orang tersebut sebagai pekerja. Sebagai ilustrasi bahwa keberhasilan akan dicapai apabila kita mengajarkan sesuatu yang terkait dengan kecakapan kelompok yang sudah setengah trampil dalam pekerjaannya yang bermaksud meneruskan pekerjaan di bidangnya dan telah membuatnya lebih produktif. Keterpaduan tidak akan dapat dicapai apabila pekerjaan kelompok yang akan menjadi sasaran didik heterogen.

Yang dimaksud dengan keterpaduan antara pekerjaan dan keaksaraan adalah suatu kegiatan yang mengajarkan unsur-unsur teknis dengan keaksaraan secara simultan.Dampak kterpaduan antara keduanya ada dua yaitu :

  1. Metode mengajarnya harus berdasarkan teknik global, sementara yang lain seperti eclectic, phonitik, silabic dll, dikesampingkan dulu.
  2. Kata-kata yang seeingkali kita dengar dalam kehidupan sehari hari yang tidak terkait dengan pekerjaan mereka untuk sementara diawal tidak dipergunakan karena bisa jadi kata kata itu tidak sesuai dengan konten pekerjaan atau vokasional.

Untuk mengajarkan bahasa baru dapat berupa ekspressi sederhana tapi jelas yang terkait dengan pengertian-pengertian teknis dan istilah istilah pelaksanaan tugas atau pekerjaan. Ini berarti bahwa pekerja hendaknya dilatih tidak saja membaca dan menulis serta berhitung terkait dengangan ketrerampilannya, melainkan juga proses matematik dengan prinsip-prinsip rasionalitas yang mengatur pelaksanaan pekerjaan.Hal ini berarti pula bahwa keterpaduan itu dicapai dengan cara keaksaraanpekerjaan-akulturasi ilmiah. (literacy-vocation-scientific acculturation).

KECAKAPAN FUNGSIONAL

Kecakapan fungsional merupakan salah satu komponen pelengkap dan terpenting dari serangkaian komponen keterampilan keberaksaraan, atau aksi penerapan dari keterampilan keaksaraan yang telah dipelajari/ dikuasai oleh warga belajar yang bersentuhan langsung dengan aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Prinsip isi pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran keaksaraan berbasis pada kecakapan hidup bersumber dari, oleh dan untuk warga belajar artinya bahwa muatan isi kurikulum bersifat konteks lokal, desain lokal, proses partisipatif dan senantiasa diorientasikan pada aksi/berbuat. Kendatipun demikian batasan kurikulum dimaksud berdasarkan standar keaksaraan pada setiap tingkatan karakteristik warga belajar.

IMPLEMENTASI KEAKSARAAN DENGAN KECAKAPAN HIDUP
Memfungsionalkan keberaksaraan mengandung makna bahwa berbagai hal yang telah dipelajari/dikuasai melalui proses pendidikan keaksaraan dapat diimplementasikan pada aktivitas bermata-pencaharian. sebagai contoh, keterampilan beternak ayam pedaging, keterampilan mengolah hasil pertanian pasca panen, dan keterampilan lainnya. Kecakapan fungsional terlihat melalui proses infiltrasi antara keberaksaraan dengan keterpaduan keterampilan yang diberikan sepanjang proses pembelajaran.

Keberhasilan program keaksaraan fungsional kecakapan hidup adalah dengan cara mengukur kemampuan dan keterampilan setiap warga belajar dalam memanfaatkan dan memfungsikan keaksaraan dan keterampilan hasil belajarnya dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi membaca, menulis dan berhitung serta keterampilan yang berguna bagi peningkatan mutu dan taraf hidupnya. Dari hasil proses belajarnya, mereka diharapkan dapat menganalisis dan memecahkan masalah keaksaraan, dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk peningkatan pendapatan mutu dan taraf hidupnya.

Konsekwensi selanjutnya daripada pendekatan keterpaduan tersebut menuntut pengelola, instruktur dan ketua kelompok belajar pertama kali harus diberi pengertian yang jelas tentang konsep dan proses pelaksanaan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok selanjutnya menjelaskan konsep itu dan prosesnya dengan gambar, angka, dan kata yang semuanya diterangkan secara runtut dan logis. Dengan kata lain cara berfikir baru hendaknya dibangun dan pemikiran baru dapat dicapai.

Warga belajar kita adalah para pekerja yang hidup dalam situasi yang berubah atau berkembang. Dia telah memiliki pengetahuan dasar dan praktek yang diperlukan untuk bekerja mencari nafkah. Oleh karena itu hampir semua konsep awal yang akan diajarkan sudah ada dalam dirinya. Dia telah mengetahui arti kata kata dasar yang terkait dengan pekerjaannya, dan tahu juga cara membetuk peralatan, obyek dan pengerjaan tugas sehari harinya. Dia telah menggunakannya dalam pekerjaan secara pragmatis dalam pekererjaan berupa penerapan arithmatika, geometri, matematik, akuntansi, fisika, kimia, dan beberapa prinsip serta aturan-aturannya.

Untuk memperjelas argumentasi tersebut di atas barangkali contoh berikut ini dapat menolong kejelasan tersebut.Seorang buruh pabrik tekstil yang buta aksara yang selalu bekerja dengan tangannya mencampur warna atau menyiapkan zat-zat pewarna. Dia akan dengan mudah diajari tentang prinsip-prinsip, aturan- aturan, cara-cara mengatur komposisi warna, mengatur, menakar, mengaduk dan mengaplikasukannya. Beberapa kata atau frasa yang menunjukkan hubungan antara unsur- unsur yang digunakan dalam mewarna akan mudah diajarkan.

Begitu pula bagi seorang petani banyak prinsip-prinsip yang terlibat dalam pekerjaan sebagai petani. Salah satu prinsip ilmiah yang biasa dikerjakan misalnya ketika dia mengukur luas tanahnya, yang secara pragmatis dikerjakannya, demikian pula ketika dia menyiapkan tanah yang akan ditanami dengan cara menggemburkan atau mencampurnya degan kompos atau pupuk kandang. Kegiatan seperti menanam, memupuk, memanen, menyimpan dan memasarkan hasilnya juga mempergunakan prinsip-prinsip ilmiah.

Dengan proses seperti ini pekerja diarahkan untuk mengerti tidak hanya hubungan yang jelas antara konsep abstrak dan fakta konkrit yang dialami sehari hari, tetapi juga struktur intrinsik suatu ucapan yang rasional dan antar hubungan antar berbagai komponen seperti: symbol, angka, huruf dll. Selanjutnya dia akan menerapkan urutan logis, jika menyusun kata-kata yang yang telah dipelajarinya secara tertulis kedalam kalimat. Kalimat-kalimat tersebut sedikit demi sedikit akan membentuk kalimat baru yang akan menjadi bahasa teknis yang lebih jelas yang akan dapat mendorong memperbiki kinerja yang lebih produktif. Dengan cara demikian kata-kata yang semula baginya hanya sebagai alat komunikasi atau menyatakan perasaan, juga menjadi pemikiran dan fungsi kerja. Target seperti ini mengarahkan kita untuk berpikir bahwa pendekatan terpadu hendaknya dianggap sebagai langkah awal daripada proses belajar sepanjang hayat, yang tujuannya tidak hanya untuk memperbaiki skills dan produktifitas pekerja, melainkan juga untuk mengembangkan minat yang terus menerus dalam hal akulturasi ilmiah, pengertian yang lebih baik terhadap profesinya.Yang dimaksud dengan akulturasi ilmiah adalah mejadikan pengertian-pengertian yang diperolehnya menjadi kebiasaan untuk berfikir logis memahami hubungan sebab akibat, memahami hubungan-hubungan antar berbagai kenyataan hidup sebagai ssuatu yang wajar mengikuti hukum-hukum alam. Kebiasaan seperti itu sangat penting agar anggota masyarakat kita tidak terjerat dengan berfikir secara naif dan magis kita harus mengajarkannya berfikir kritis dalam menghadapi kehidupan ini.

Memperhatikan proses didaktik yang perlu dikembangkan sesuai dengan urutan kronologis sebagai berikut:
  1. Diskusi kelompok tentang tugas dalam pekerjaan
  2. Tunjukkan tugas tugas yang berhubungan dengan tugas pekerjaan berdasarkan pengalaman
  3. Identifikasikan prinsip dan aturan secara rasional seprti: matematika. geomitri, dsb. Gabungkan dengan tugas pekerjaan
  4. Lakukan simbolisasi grafis hal-hal diatas dengan gambar, angka, hubungan arithmatik , kata-kata yang sesuai
  5. Ringkasan hasil diskusi dan formulasikan tertulis dalam kalimat pendek
  6. Aplikasikan prinsip dan aturan sesuai dengan situasi
  7. Tugas pekerjaan hendaknya dipandang dan dipilih sebagai lapangan studi untuk diamati sesuai dengan kepentngannya dari segi waktu dan uang, yang akan diprtimbangkan dari segi nilai ekonominya. Dalam kaitan ini, waktu, uang, kejelasan, pertimbangan teknis, keakuratan atau ketepatan, akan ditekankan agar supaya mendorong anggota kelompok dapat mencapai standar yang lebih baik dalam kinerja dan produktifitasnya

Dengan menulis, membaca dan berhitung bagi orang dewasa mempunyai kesempatan mencoba mengekspresikan secara bebas dan mandiri tentang pengalamannya. Umumnya mereka melakukan sesuatu yang sangat penting dan dengan usaha keras untuk dinyatakan secara tertulis. Dengan menulis, membaca dan berhitung mereka juga terbebas dari kebingungan untuk berbicara hal-hal yang popular, dan ini merupakan saksi pertama dari suatu tanggung jawab

Pengalaman tersebut menunjukkan kepada kita beberapa hal sebagai berikut (1) keaksaraan ternyata dapat dipadukan dengan pengajaran kecakapan hbidup atau dipadukan dengan pekerjaan. Kata-kata kunci yang tersebar dalam diskusi, dipelajari secara menyeluruh, secara serasi atau harmonis dikembangkan kedalam kamus kata dan simbul teknis yang dalam waktu singkat menjadi dasar yang berguna untuk memahami pekerjaan untuk perluasan secepatnya keterampilan keaksaraan atau baca tulis. (2) Sejak awal pengetahuan dan pengertian yang berhubungan dengan kecakapan teknis serta petunjuknya dapat diajarkan jauh sebelum kecakapan baca tulis tercapai. (3) Keaksaraan, suatu perintah, kecakapan menggabung huruf dan suku untuk membaca dan menulis, dapat timbul dari pengertian global dari kata kata dan istilah teknis yang ditulis dan merupakan dasar analisis dan sintesis dari kata kata yang terdapat dalam keseluruhan kamus lisan.

*) Pengelola program keaksaraan

Baca Selengkapnya...>>

PEMBELAJARAN KEAKSARAAN

DENGAN PENDEKATAN BAHASA IBU

Oleh :

Abdul Hamid *)

Pembelajaran keaksaraan yang berkaitan dengan bahasa ibu adalah Model pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu. Program ini secara khusus ditujukan bagi pengembangan pendidikan masyarakat buta aksara dengan memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya, yaitu bahasa Tetun di Nusa Tenggara Timur, sebagai sumber belajar yang fungsional dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Program pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu ini menggunakan tingkatan kelas sebagai berikut:

Tingkat 1, kelas untuk warga belajar pemula yang hanya mampu berbicara (atau sebagian besar) dalam bahasa ibunya.

Tingkat 2, kelas untuk warga belajar yang ingin lancar menulis dan membaca dalam bahasa ibunya dan juga ingin memahami dan mampu berbicara dalam bahasa mayoritas (bahasa nasional/bahasa Indonesia).

Tingkat 3, kelas untuk warga belajar yang sudah siap mentransfer keaksaraan dalam bahasa mayoritas.

Tingkat 4, kelas untuk warga belajar yang dapat melanjutkan pembelajarannya baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa mayoritas (bilingual).

Dalam model ini materi pembelajarannya memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life skills), diantaranya: menyanyi lagu daerah Tetun, menulis bahasa Tetun, menulis babasan Tetun, menulis surat berbahasa Tetun.

Dalam proses belajar mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi (calistungdasi). Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi yang disampaikan tutor. Bahkan, terkadang menggunakan alat musik dalam seni suara sebagai raginya. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari pengembangan tradisi lokal.

Selain itu, warga belajar pun didorong untuk membuat bahan belajar sendiri berdasarkan pengalaman-nya. Banyak dari warga belajar, yang meskipun buta aksara tetapi memiliki pengalaman yang luar biasa dalam keterampilan tra-disional, misalnya: mengambil dan membuat bahan ajar sesuai kebutuhan lokal, pengetahuan dongeng lokal, musik Tetun, dan keterampilan tradisional lainnya.

Kekayaan bahasa dan budaya Tetun ini kemudian dijadikan salah satu sumber belajar bagi warga belajar, tutor, dan penyelenggara yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan yang memadai untuk menggunakan beraneka ragam informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah kemampuan memproses informasi bahan-bahan menjadi suatu hal yang aplikatif dalam kehidupan tradisional mereka.

Hasil kajian penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu memiliki dampak sertaan terhadap pemertahanan bahasa Tetun. Bahan ajar yang digali dari kekayaan bahasa dan budaya Tetun dalam konteks setempat, memungkinkan terangkatnya nilai-nilai budaya Tetun yang sudah dilupakan atau bahkan tidak dikenal oleh para penuturnya. Penggunaan dongeng lokal (dalam bentuk sasakala), paribahasa, serta tradisi dan musik Tetun dalam proses pembelajaran keaksaraan menjadikan program ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemberantasan buta aksara dan angka, tapi berkontribusi pula pada pemertahanan bahasa dan budaya Tetun.

Model pembelajaran yang meliputi diskusi, membaca, menulis, berhitung yang diberikan oleh para tutor di kelompok belajar seluruhnya menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu yakni, bahasa Tetun yang dapat membantu bagi warga belajar untuk menyesuaikan diri saat mengawali pembelajaran, sebab warga belajar yang mengikuti kelas baru biasanya tidak percaya diri karena menilai belajar baca tulis itu sulit dan menakutkan.

Penyelenggaraan kegiatan belajar keaksaraan fungsional tersebut dilaksanakan dengan memerhatikan konteks lokal, yakni pembelajaran berdasarkan minat, kebutuhan, pengalamanan dan permasalahan lokal. Selanjutnya untuk merangsang semangat belajar, pengelola memberikan tambahan keterampilan, seperti kerajinan tangan, kesenian dengan memanfaatkan potensi lokal.

Pemberantas buta aksara menjadi tidak efektif bila awal pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa ibu bisa menjadi jembatan sebelum warga belajar memahami baca, tulis dan berhitung dalam bahasa Indonesia.

Bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang kini telah menjadi bahasa ibu hendaknya ditradisikan secara seimbang dalam lingkungan keluarga. Pembekalan dua bahasa (bilingual) atau lebih (multilingual) terhadap anak sejak dini usia, merupakan langkah strategis untuk membentuk pribadi yang toleran dan santun, di samping menyelamatkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan.

Dalam model pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan bahasa ibu perlu dipertimbangkan dan diperhatikan oleh tutor dalam memproses pembelajaran dengan pendekatan bahasa ibu, termasuk dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran Keaksaraan Fungsional.

1. Pembelajaran Membaca

a. Warga belajar telah mengenal dan mampu mengucapkan beberapa kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan bahasa ibu.

Misalnya (dialihkan dalam bahasa ibu) :

· Nama sendiri, anak-anaknya, anggota keluarga dan lainnya.

· Alamat/tempat tinggal di kelurahan/desa/kampung, kecamatan, kabupaten, dan sebagainya.

· Nama-nama anggota/bagian tubuh dirinya atau nama-nama benda yang ada di sekitarnya.

b. Kemampuan mengucapkan dan menghafal kata-kata, tidak selalu seiring dengan kemampuan membacanya.

c. Kemampuan membaca perlu dikaitkan dengan keterampilan yang dibutuhkan warga belajar, misalnya membaca resep makanan kemudian diikuti dengan membuat makanan.

d. Penggunaan sarana belajar, baik dalam bentuk buku, booklet, poster maupun lainnya harus sesuai dengan tingkat kemampuan membaca warga belajar.

e. Penggunaan media belajar berbentuk booklet, leaflet, koran/ majalah dinding, bulletin dan lain-lain bertujuan memperkuat, mempertahankan dan mengembangkan kemampuan membaca warga belajar.

f. Pembelajaran keterampilan menyusun kalimat perlu menggunakan kata-kata yang sudah dikuasai warga belajar.

g. Pembelajaran membaca dimulai dengan kata-kata yang berstruktur Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal

Contoh:

· Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal

· Terdiri dari maksimal empat (4) huruf atau 2 suku kata.

· Nama benda yang melekat atau dekat dengan pribadi dan kehidupan sehari-hari warga belajar.

h. Pembelajaran membaca mengikuti rangkaian kerja berurutan sebagai berikut:

  1. Pengenalan bunyi dan bentuk kata atau kalimat.
  2. Pengenalan posisi kata dalam suatu kalimat
  3. Pengenalan suku kata dari suatu kata.
  4. Pengenalan huruf dari suku kata atau rangkaian terbalik dari urutan tersebut di atas.

Strategi pembelajaran membaca menurut Montessori dalam Kusnadi dkk (2005; 177) adalah bahasa yang ditulis. Pengenalan dengan segala bentuk tulisan, tanda-tanda, rambu-rambu lalulintas, iklan dikotak makanan, bungkus rokok, bungkus jamu, nama-nama nabi, nama diri, nama orang terkenal nama benda didapur dan lain sebagainya, membantu seseorang untuk mencari keterkaitan antara berbicara, menulis dan membaca.

Untuk menjamin agar penge-tahuan/informasi/materi bacaan dapat segera dipahami oleh wrga belajar, maka prinsip-prinsip materi yang harus memperhatikan :

  1. Materi bacaan hendaknya dipusatkan pada masalah nyata dan mendesak bagi warga belajar dan masyarakatnya.
  2. Materi bacaan hendaknya menunjukkanmasalah atau menguraikan keadaan masalah potensial dan memberikan informasi teknis terkait dengan masalah diatas.
  3. Materi bacaan hendaknya disajikan dalam suasana yang memungkinkan terjadinya proses diskusi lebih lanjut dan berbagi pengalaman antar warga belajar dan tutor.
  4. Materi bacaan menggunakan kata sederhana, konkrit dan mudah dipahami oleh warga belajar.
  5. Meater bacaan dimulai dari struktur yang paling sederhana (kata, kalimat) menuju ke hal-hal yang sulit.
  6. Meteri bacaan hendaknya menggunakan kalimat yang tidak terlalu panjang (3-5 kata), dan bila memungkinkan gunakan kata-kata dasar terlebih dahulu sebelum beranjak ke kata-kata yang komleks dan memiliki makna ganda.

Prinsip-prinsip dan langkah-langkah dalam membelajarkan warga belajar membaca yaitu:

  1. Cari materi-materi/informasi praktis atau sederhana yang sesuai dengan minat, kebutuhan dan masalah yang dihadapi warga belajar (bersifat fungsional)
  2. Tutor menyalin informasi di atas ke dalam papan tulis.
  3. Meminta warga belajar untuk menyalin informasi tersebut ke buku catatan masing-masing.
  4. Tutor membaca bahan bacaan tersebut dan warga belajar menirukan secara bersama-sama dengan melihat ke papan tulis.
  5. Meminta warga belajar yang sudah sedikit mampu membaca untuk kedepan dan memabaca bahan bacaan tersebut, sementar yang lainnya mengikuti.
  6. Latih warga belajar berulang-ulang.
  7. Meminta warga belajar memabaca secara bersamaan dengan melihat hasil tulisan masing-masing.
  8. Latih warga belajar membaca tulisan masing-masing secara bergantian/acak.
  9. Jangan terlalui khawatir bila tidak dapat membaca dengan sempurna.
  10. Bantulah warga belajar agar percaya diri dan meras senang bahwa warga belajar dapat membaca, dan beri semangat warga belajar agar membantu yang lainnya.

2. Pembelajaran Menulis

  1. a. Menggunakan bahan-bahan peristiwa atau kejadian dan permasalahan yang berasal dari masyarakat setempat.
  2. b. Mengemukakan masalah yang dihadapi warga belajar melalui berbagai pilihan gambar yang ditampilkan, selanjutnya meminta warga belajar mencari pemecahannya.
  3. c. Memberi kesempatan seluas mungkin kepada warga belajar untuk berfikir sendiri.
  4. d.
    Jangan terlalu khawatir bila warga belajar tidak dapat menulis dengan sempurna.
  5. e. Membantu warga belajar agar percaya diri dan merasa senang bahwa mereka dapat menulis.
  6. f. Memberikan semangat kepada warga belajar agar membantu yang lainnya.
  7. g. Menggunakan bahasa daerah setempat atau kombinasi Bahasa Indonesia dan bahasa lokal(bahasa ibu) yang dikuasai warga belajar.

Sesungguhnya menulis tidak hanya proses membentuk huruf atau membuat kelimat tetapi merupakan hasil daya/ karya cipta seseorang. Tulisan adalah serangkaian lambang bunyi yang mengungkapkan pokok pikiran si penulis, oleh karena itu rangkaian lambang bunyi harus bermakna, mengandung arti sehingga pokok pikiran (ide) yang tersurat dan tersirat dapat dipahami oleh pembaca.

Langkah-langkah kegiatan menulis untuk warga belajar pemula meliputi 4 (empat) tahap yaitu :

1) Tahap pertama: Menulis di udara

Mengingat warga belajar pemula jarang memiliki kesempatan memegang alat-alat tulis, maka mereka perlu dibelajarkan bagaimana menggunakan alat-alat tulis. Tutor meminta warga belajar untuk menulis diudara, untuk melemaskan dan lebih memperkenalkan fungsi alat-alat tulis sebagai media menuangkan ide/gagasan.

2) Tahap kedua: Menulis tentang apa saja

Setelah warga belajar terbiasa mengenal alat-alat tulis dan fungsinya, tutor meminta warga belajar menulis tentang apa saja yang menjadi kesukaannya, mereka dapat menulis garis, lingkaran, menggambar, coret-coret atau apa saja. Hal ini bertujuan untuk merangsang warga belajar, bahwa apa yang dipikirkan hanya dapat dikominikasikan melalui lambing-lambang tertentu (garis, lingkaran, huruf dan sebagainya).

3) Tahap ketiga: Menulis konkret

Warga belajar diminta menulis kata-kata nyata dengan cara menyalin/meniru atau menjiplak tulisan orang lain, seperti menulis nama diri, anggota keluarga, meniru gambar nyata seperti gelas, piring, pisau dan lain-lain.

4) Tahap keempat: Menulis kata/kalimat/pesan pendek

Inti menulis adalah mengkomunikasikan ide/gagasan kepada orang lain, oleh karena itu warga belajar diminta dan dilatih untuk menulis kata-kata/kalimat/pesan pendek yang bisa dimengerti orang lain.

Sedangkan langkah-langkah mengelola pembelajaran menulis pada kelompok belajar yang memiliki kemampuan yang beragam, adalah :

1) Merangsang Ide

Tulisan warga belajar biasanya dihasilkan dari ide dan pikiran sendiri. Mereka biasanya tidak menyalin kata-kata atau kalimat dari buku/papan tulis. Proses menulis dimulai dari diskusi atau ngobrol mengenai minat, pengalaman dan pengetahuan warga belajar. Setelah diskusi warga belajar menulis beberapa kata/kalimat untuk menyimpulkan ide. Untuk merangsang ide warga belajar, tutor menggunakan kata-kata kunci seputar aktifitas sehari-hari sebagai topik menulis.

2) Warga belajar saling membantu

Dalam mengelola pembelajaran menulis tutor meminta warga belajar untuk duduk secara bersama-sama dalam kelompok kecil atau berpasangan. Dengan cara ini warga belajar dapat bekerjasama dan saling membantu satu sama lain. Pada saat menulis masing-masing warga belajar dapat bekerja sesuai dengan tingkat keterampilan yang dimilikinya. Warga belajar yang sudah biasa menulis dapat langsung menulis sendiri dan membantu warga belajar lain untuk menulis daftar kata, kalimat arau paragraph tentang suatu topik yang dikehendaki.

3) Melibatkan warga belajar pemula

Warga belajar yang masih buta aksara dapat memulai dengan membuat gambar karena proses membuat gambar adalah merupakan suatu strategi pra menulis yang membantu warga belajar terbiasa menggunakan pensil dan kertas dengan cara membuat symbol, garis atau lingkaran. Kegiatan ini dapat mewakili informasi yang telah dimiliki setiap warga belajar. Warga belajar pemula juga dapat mengucapkan kalimat kepada tutor, kemudian tutor menuliskan ucapan tersebut dikertas/papan tulis, kemudian warga belajar menyalin kalimat tersebut dalam buku tulisannya.

4) Membaca hasil

Setelah warga belajar selesai menulis, tutor meminta warga belajar membaca tulisannya sendiri, selanjutnya tutor membagi warga belajar secara berpasangan, warga belajar yang mempunyai tingkat keterampilan lebih tinggi membantu warga belajar pemula, sehingga setiap warga belajar saling membelajarkan.

3. Pembelajaran Berhitung

Untuk bisa membelajarkan warga belajar berhitung, perlu mengamati aktifitas berhitung masyarakat. Selain itu perlu mengamati cara belajar keterampilan berhitung yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seperti :

  1. Warga belajar telah mengenal nilai nominal uang, jumlah ternak yang dimiliki, jumlah anak dan sebagainya berikut menghitungnya.
  2. Warga belajar belum mampu menulis secara benar tentang penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perbandingan.
  3. Membantu membelajarkan berhitung melalui benda, hitungan yang digunakan warga belajar dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Warga belajar sudah mempunyai kemampuan/potensi menghitung yang dapat digunakan sehari-hari
  5. Kemampuan berhitung warga belajar lebih baik daripada kemampuan menulisnya.
  6. Keterampilan berhitung yang dibutuhkan warga belajar berisi antara lain ukuran standar, meter, liter, gram,kg, dan sebagainya.
  7. Menggunakan dan memanfaatkan alat-alat yang berasal dari kehidupan warga belajar
  8. Membelajarkan keterampilan berhitung bersama-sama (terinteg-rasi) dengan kegiatan fungsional misalnya alamat, jarak, resep, pertumbuhan anak, dan sebagainya.
  9. Menggunakan alat-alat yang dapat diperoleh/dikerjakan sendiri, seperti lidi, batu, telur, daun dan sebagainya.
  10. Mengetahui kebutuhan berhitung warga belajar lebih awal sebelum pembelajaran dimulai.
  11. Melaksanakan survey matematika sesuai dengan kebutuhan belajar
  12. Pembelajaran berhitung selalu dikaitkan dengan kegiatan sehari-hari warga belajar.

Dibawah ini dikemukakan beberapa pertanyaan untuk membantu tutor dalam membelajarkan warga belajar berhitung.

  1. Kapan dan dimana orang-orang biasanya melakukan kegiatan ber-hitung.
  2. Amatilah jenis hitungan seperti apa yang digunakan.
  3. Berhitung jenis apa yang digunakan orang-orang dalam kegiatan sehari-hari?
  4. Berapa batas hitungan yang biasa digunakan masyarakat?
  5. Apa alat Bantu local yang biasa digunakan orang-orang dalam berhitung? Apakah mereka menggunakan garisan/meteran, kalkulator, kerikil, lidi, tali atau jari tangan.
  6. Simbol-simbol apa yang biasa digunakan dalam berhitung? Apakah perkalian, pertambahan, pengurangan, pembagian?
  7. Permainan apa yang biasa digunakan masyarakat ?, apakan dengan menggunakan permainan angka/nomor, dadu, kartu atau yang lainnya.
  8. Apa dasar penomoran yang digunakan untuk membedakan masing-masing kegiatan perhitungan? Misalnya untuk keuangan dengan menggunakan angka puluhan, tarusan, ribuan dan lain sebagainya, sedang untuk menghitung berat apakah menggunakan ons, kilogam, ton dan seterusnya?
  9. Berapa angka pecahan yang biasa dicatat dan paling banyak digunakan secara umum.
  10. Format apa yang digunakan untuk angka misalnya untuk menabung, dan menghitung hutang/kredit bank?
  11. Berapa harga barang pokok yang penting dari masyarakat local dan berapa beratnya?
  12. Apakah masyarakat menggunakan system tradisional atau modern untuk menimbang atau mengukur? Apakah disana menggunakan pengkurang yang sederha?apakah masyarakat juga mengerahui tentang pemasaran?
  13. Jenis keterampilan apa yang dibutuhkan atau yang diiginkan?

Bersamaan dengan penyelenggaraan keaksaraan fungsional yang disertai dengan pemberian jenis keterampilan hidup bagi warga belajar. Pada pengembangan model dologi pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan bahasa ibu. Oleh sebab itu pengembangan model akan dilaksanakan dan diimplementasikan ketika warga belajar mengikuti kegiatan pembelajaran yang berfokus pada keterampilan baca, tulis dan hitung dengan pendekatan bahasa ibu.

*) Abdul Hamid, Pemerhati Pendidikan Nonformal dan informa

Baca Selengkapnya...>>

Feeds

Cari Blog Ini