PEMBELAJARAN KEAKSARAAN

DENGAN PENDEKATAN BAHASA IBU

Oleh :

Abdul Hamid *)

Pembelajaran keaksaraan yang berkaitan dengan bahasa ibu adalah Model pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu. Program ini secara khusus ditujukan bagi pengembangan pendidikan masyarakat buta aksara dengan memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya, yaitu bahasa Tetun di Nusa Tenggara Timur, sebagai sumber belajar yang fungsional dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Program pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu ini menggunakan tingkatan kelas sebagai berikut:

Tingkat 1, kelas untuk warga belajar pemula yang hanya mampu berbicara (atau sebagian besar) dalam bahasa ibunya.

Tingkat 2, kelas untuk warga belajar yang ingin lancar menulis dan membaca dalam bahasa ibunya dan juga ingin memahami dan mampu berbicara dalam bahasa mayoritas (bahasa nasional/bahasa Indonesia).

Tingkat 3, kelas untuk warga belajar yang sudah siap mentransfer keaksaraan dalam bahasa mayoritas.

Tingkat 4, kelas untuk warga belajar yang dapat melanjutkan pembelajarannya baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa mayoritas (bilingual).

Dalam model ini materi pembelajarannya memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life skills), diantaranya: menyanyi lagu daerah Tetun, menulis bahasa Tetun, menulis babasan Tetun, menulis surat berbahasa Tetun.

Dalam proses belajar mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi (calistungdasi). Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi yang disampaikan tutor. Bahkan, terkadang menggunakan alat musik dalam seni suara sebagai raginya. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari pengembangan tradisi lokal.

Selain itu, warga belajar pun didorong untuk membuat bahan belajar sendiri berdasarkan pengalaman-nya. Banyak dari warga belajar, yang meskipun buta aksara tetapi memiliki pengalaman yang luar biasa dalam keterampilan tra-disional, misalnya: mengambil dan membuat bahan ajar sesuai kebutuhan lokal, pengetahuan dongeng lokal, musik Tetun, dan keterampilan tradisional lainnya.

Kekayaan bahasa dan budaya Tetun ini kemudian dijadikan salah satu sumber belajar bagi warga belajar, tutor, dan penyelenggara yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan yang memadai untuk menggunakan beraneka ragam informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah kemampuan memproses informasi bahan-bahan menjadi suatu hal yang aplikatif dalam kehidupan tradisional mereka.

Hasil kajian penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu memiliki dampak sertaan terhadap pemertahanan bahasa Tetun. Bahan ajar yang digali dari kekayaan bahasa dan budaya Tetun dalam konteks setempat, memungkinkan terangkatnya nilai-nilai budaya Tetun yang sudah dilupakan atau bahkan tidak dikenal oleh para penuturnya. Penggunaan dongeng lokal (dalam bentuk sasakala), paribahasa, serta tradisi dan musik Tetun dalam proses pembelajaran keaksaraan menjadikan program ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemberantasan buta aksara dan angka, tapi berkontribusi pula pada pemertahanan bahasa dan budaya Tetun.

Model pembelajaran yang meliputi diskusi, membaca, menulis, berhitung yang diberikan oleh para tutor di kelompok belajar seluruhnya menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu yakni, bahasa Tetun yang dapat membantu bagi warga belajar untuk menyesuaikan diri saat mengawali pembelajaran, sebab warga belajar yang mengikuti kelas baru biasanya tidak percaya diri karena menilai belajar baca tulis itu sulit dan menakutkan.

Penyelenggaraan kegiatan belajar keaksaraan fungsional tersebut dilaksanakan dengan memerhatikan konteks lokal, yakni pembelajaran berdasarkan minat, kebutuhan, pengalamanan dan permasalahan lokal. Selanjutnya untuk merangsang semangat belajar, pengelola memberikan tambahan keterampilan, seperti kerajinan tangan, kesenian dengan memanfaatkan potensi lokal.

Pemberantas buta aksara menjadi tidak efektif bila awal pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa ibu bisa menjadi jembatan sebelum warga belajar memahami baca, tulis dan berhitung dalam bahasa Indonesia.

Bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang kini telah menjadi bahasa ibu hendaknya ditradisikan secara seimbang dalam lingkungan keluarga. Pembekalan dua bahasa (bilingual) atau lebih (multilingual) terhadap anak sejak dini usia, merupakan langkah strategis untuk membentuk pribadi yang toleran dan santun, di samping menyelamatkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan.

Dalam model pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan bahasa ibu perlu dipertimbangkan dan diperhatikan oleh tutor dalam memproses pembelajaran dengan pendekatan bahasa ibu, termasuk dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran Keaksaraan Fungsional.

1. Pembelajaran Membaca

a. Warga belajar telah mengenal dan mampu mengucapkan beberapa kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan bahasa ibu.

Misalnya (dialihkan dalam bahasa ibu) :

· Nama sendiri, anak-anaknya, anggota keluarga dan lainnya.

· Alamat/tempat tinggal di kelurahan/desa/kampung, kecamatan, kabupaten, dan sebagainya.

· Nama-nama anggota/bagian tubuh dirinya atau nama-nama benda yang ada di sekitarnya.

b. Kemampuan mengucapkan dan menghafal kata-kata, tidak selalu seiring dengan kemampuan membacanya.

c. Kemampuan membaca perlu dikaitkan dengan keterampilan yang dibutuhkan warga belajar, misalnya membaca resep makanan kemudian diikuti dengan membuat makanan.

d. Penggunaan sarana belajar, baik dalam bentuk buku, booklet, poster maupun lainnya harus sesuai dengan tingkat kemampuan membaca warga belajar.

e. Penggunaan media belajar berbentuk booklet, leaflet, koran/ majalah dinding, bulletin dan lain-lain bertujuan memperkuat, mempertahankan dan mengembangkan kemampuan membaca warga belajar.

f. Pembelajaran keterampilan menyusun kalimat perlu menggunakan kata-kata yang sudah dikuasai warga belajar.

g. Pembelajaran membaca dimulai dengan kata-kata yang berstruktur Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal

Contoh:

· Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal

· Terdiri dari maksimal empat (4) huruf atau 2 suku kata.

· Nama benda yang melekat atau dekat dengan pribadi dan kehidupan sehari-hari warga belajar.

h. Pembelajaran membaca mengikuti rangkaian kerja berurutan sebagai berikut:

  1. Pengenalan bunyi dan bentuk kata atau kalimat.
  2. Pengenalan posisi kata dalam suatu kalimat
  3. Pengenalan suku kata dari suatu kata.
  4. Pengenalan huruf dari suku kata atau rangkaian terbalik dari urutan tersebut di atas.

Strategi pembelajaran membaca menurut Montessori dalam Kusnadi dkk (2005; 177) adalah bahasa yang ditulis. Pengenalan dengan segala bentuk tulisan, tanda-tanda, rambu-rambu lalulintas, iklan dikotak makanan, bungkus rokok, bungkus jamu, nama-nama nabi, nama diri, nama orang terkenal nama benda didapur dan lain sebagainya, membantu seseorang untuk mencari keterkaitan antara berbicara, menulis dan membaca.

Untuk menjamin agar penge-tahuan/informasi/materi bacaan dapat segera dipahami oleh wrga belajar, maka prinsip-prinsip materi yang harus memperhatikan :

  1. Materi bacaan hendaknya dipusatkan pada masalah nyata dan mendesak bagi warga belajar dan masyarakatnya.
  2. Materi bacaan hendaknya menunjukkanmasalah atau menguraikan keadaan masalah potensial dan memberikan informasi teknis terkait dengan masalah diatas.
  3. Materi bacaan hendaknya disajikan dalam suasana yang memungkinkan terjadinya proses diskusi lebih lanjut dan berbagi pengalaman antar warga belajar dan tutor.
  4. Materi bacaan menggunakan kata sederhana, konkrit dan mudah dipahami oleh warga belajar.
  5. Meater bacaan dimulai dari struktur yang paling sederhana (kata, kalimat) menuju ke hal-hal yang sulit.
  6. Meteri bacaan hendaknya menggunakan kalimat yang tidak terlalu panjang (3-5 kata), dan bila memungkinkan gunakan kata-kata dasar terlebih dahulu sebelum beranjak ke kata-kata yang komleks dan memiliki makna ganda.

Prinsip-prinsip dan langkah-langkah dalam membelajarkan warga belajar membaca yaitu:

  1. Cari materi-materi/informasi praktis atau sederhana yang sesuai dengan minat, kebutuhan dan masalah yang dihadapi warga belajar (bersifat fungsional)
  2. Tutor menyalin informasi di atas ke dalam papan tulis.
  3. Meminta warga belajar untuk menyalin informasi tersebut ke buku catatan masing-masing.
  4. Tutor membaca bahan bacaan tersebut dan warga belajar menirukan secara bersama-sama dengan melihat ke papan tulis.
  5. Meminta warga belajar yang sudah sedikit mampu membaca untuk kedepan dan memabaca bahan bacaan tersebut, sementar yang lainnya mengikuti.
  6. Latih warga belajar berulang-ulang.
  7. Meminta warga belajar memabaca secara bersamaan dengan melihat hasil tulisan masing-masing.
  8. Latih warga belajar membaca tulisan masing-masing secara bergantian/acak.
  9. Jangan terlalui khawatir bila tidak dapat membaca dengan sempurna.
  10. Bantulah warga belajar agar percaya diri dan meras senang bahwa warga belajar dapat membaca, dan beri semangat warga belajar agar membantu yang lainnya.

2. Pembelajaran Menulis

  1. a. Menggunakan bahan-bahan peristiwa atau kejadian dan permasalahan yang berasal dari masyarakat setempat.
  2. b. Mengemukakan masalah yang dihadapi warga belajar melalui berbagai pilihan gambar yang ditampilkan, selanjutnya meminta warga belajar mencari pemecahannya.
  3. c. Memberi kesempatan seluas mungkin kepada warga belajar untuk berfikir sendiri.
  4. d.
    Jangan terlalu khawatir bila warga belajar tidak dapat menulis dengan sempurna.
  5. e. Membantu warga belajar agar percaya diri dan merasa senang bahwa mereka dapat menulis.
  6. f. Memberikan semangat kepada warga belajar agar membantu yang lainnya.
  7. g. Menggunakan bahasa daerah setempat atau kombinasi Bahasa Indonesia dan bahasa lokal(bahasa ibu) yang dikuasai warga belajar.

Sesungguhnya menulis tidak hanya proses membentuk huruf atau membuat kelimat tetapi merupakan hasil daya/ karya cipta seseorang. Tulisan adalah serangkaian lambang bunyi yang mengungkapkan pokok pikiran si penulis, oleh karena itu rangkaian lambang bunyi harus bermakna, mengandung arti sehingga pokok pikiran (ide) yang tersurat dan tersirat dapat dipahami oleh pembaca.

Langkah-langkah kegiatan menulis untuk warga belajar pemula meliputi 4 (empat) tahap yaitu :

1) Tahap pertama: Menulis di udara

Mengingat warga belajar pemula jarang memiliki kesempatan memegang alat-alat tulis, maka mereka perlu dibelajarkan bagaimana menggunakan alat-alat tulis. Tutor meminta warga belajar untuk menulis diudara, untuk melemaskan dan lebih memperkenalkan fungsi alat-alat tulis sebagai media menuangkan ide/gagasan.

2) Tahap kedua: Menulis tentang apa saja

Setelah warga belajar terbiasa mengenal alat-alat tulis dan fungsinya, tutor meminta warga belajar menulis tentang apa saja yang menjadi kesukaannya, mereka dapat menulis garis, lingkaran, menggambar, coret-coret atau apa saja. Hal ini bertujuan untuk merangsang warga belajar, bahwa apa yang dipikirkan hanya dapat dikominikasikan melalui lambing-lambang tertentu (garis, lingkaran, huruf dan sebagainya).

3) Tahap ketiga: Menulis konkret

Warga belajar diminta menulis kata-kata nyata dengan cara menyalin/meniru atau menjiplak tulisan orang lain, seperti menulis nama diri, anggota keluarga, meniru gambar nyata seperti gelas, piring, pisau dan lain-lain.

4) Tahap keempat: Menulis kata/kalimat/pesan pendek

Inti menulis adalah mengkomunikasikan ide/gagasan kepada orang lain, oleh karena itu warga belajar diminta dan dilatih untuk menulis kata-kata/kalimat/pesan pendek yang bisa dimengerti orang lain.

Sedangkan langkah-langkah mengelola pembelajaran menulis pada kelompok belajar yang memiliki kemampuan yang beragam, adalah :

1) Merangsang Ide

Tulisan warga belajar biasanya dihasilkan dari ide dan pikiran sendiri. Mereka biasanya tidak menyalin kata-kata atau kalimat dari buku/papan tulis. Proses menulis dimulai dari diskusi atau ngobrol mengenai minat, pengalaman dan pengetahuan warga belajar. Setelah diskusi warga belajar menulis beberapa kata/kalimat untuk menyimpulkan ide. Untuk merangsang ide warga belajar, tutor menggunakan kata-kata kunci seputar aktifitas sehari-hari sebagai topik menulis.

2) Warga belajar saling membantu

Dalam mengelola pembelajaran menulis tutor meminta warga belajar untuk duduk secara bersama-sama dalam kelompok kecil atau berpasangan. Dengan cara ini warga belajar dapat bekerjasama dan saling membantu satu sama lain. Pada saat menulis masing-masing warga belajar dapat bekerja sesuai dengan tingkat keterampilan yang dimilikinya. Warga belajar yang sudah biasa menulis dapat langsung menulis sendiri dan membantu warga belajar lain untuk menulis daftar kata, kalimat arau paragraph tentang suatu topik yang dikehendaki.

3) Melibatkan warga belajar pemula

Warga belajar yang masih buta aksara dapat memulai dengan membuat gambar karena proses membuat gambar adalah merupakan suatu strategi pra menulis yang membantu warga belajar terbiasa menggunakan pensil dan kertas dengan cara membuat symbol, garis atau lingkaran. Kegiatan ini dapat mewakili informasi yang telah dimiliki setiap warga belajar. Warga belajar pemula juga dapat mengucapkan kalimat kepada tutor, kemudian tutor menuliskan ucapan tersebut dikertas/papan tulis, kemudian warga belajar menyalin kalimat tersebut dalam buku tulisannya.

4) Membaca hasil

Setelah warga belajar selesai menulis, tutor meminta warga belajar membaca tulisannya sendiri, selanjutnya tutor membagi warga belajar secara berpasangan, warga belajar yang mempunyai tingkat keterampilan lebih tinggi membantu warga belajar pemula, sehingga setiap warga belajar saling membelajarkan.

3. Pembelajaran Berhitung

Untuk bisa membelajarkan warga belajar berhitung, perlu mengamati aktifitas berhitung masyarakat. Selain itu perlu mengamati cara belajar keterampilan berhitung yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seperti :

  1. Warga belajar telah mengenal nilai nominal uang, jumlah ternak yang dimiliki, jumlah anak dan sebagainya berikut menghitungnya.
  2. Warga belajar belum mampu menulis secara benar tentang penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perbandingan.
  3. Membantu membelajarkan berhitung melalui benda, hitungan yang digunakan warga belajar dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Warga belajar sudah mempunyai kemampuan/potensi menghitung yang dapat digunakan sehari-hari
  5. Kemampuan berhitung warga belajar lebih baik daripada kemampuan menulisnya.
  6. Keterampilan berhitung yang dibutuhkan warga belajar berisi antara lain ukuran standar, meter, liter, gram,kg, dan sebagainya.
  7. Menggunakan dan memanfaatkan alat-alat yang berasal dari kehidupan warga belajar
  8. Membelajarkan keterampilan berhitung bersama-sama (terinteg-rasi) dengan kegiatan fungsional misalnya alamat, jarak, resep, pertumbuhan anak, dan sebagainya.
  9. Menggunakan alat-alat yang dapat diperoleh/dikerjakan sendiri, seperti lidi, batu, telur, daun dan sebagainya.
  10. Mengetahui kebutuhan berhitung warga belajar lebih awal sebelum pembelajaran dimulai.
  11. Melaksanakan survey matematika sesuai dengan kebutuhan belajar
  12. Pembelajaran berhitung selalu dikaitkan dengan kegiatan sehari-hari warga belajar.

Dibawah ini dikemukakan beberapa pertanyaan untuk membantu tutor dalam membelajarkan warga belajar berhitung.

  1. Kapan dan dimana orang-orang biasanya melakukan kegiatan ber-hitung.
  2. Amatilah jenis hitungan seperti apa yang digunakan.
  3. Berhitung jenis apa yang digunakan orang-orang dalam kegiatan sehari-hari?
  4. Berapa batas hitungan yang biasa digunakan masyarakat?
  5. Apa alat Bantu local yang biasa digunakan orang-orang dalam berhitung? Apakah mereka menggunakan garisan/meteran, kalkulator, kerikil, lidi, tali atau jari tangan.
  6. Simbol-simbol apa yang biasa digunakan dalam berhitung? Apakah perkalian, pertambahan, pengurangan, pembagian?
  7. Permainan apa yang biasa digunakan masyarakat ?, apakan dengan menggunakan permainan angka/nomor, dadu, kartu atau yang lainnya.
  8. Apa dasar penomoran yang digunakan untuk membedakan masing-masing kegiatan perhitungan? Misalnya untuk keuangan dengan menggunakan angka puluhan, tarusan, ribuan dan lain sebagainya, sedang untuk menghitung berat apakah menggunakan ons, kilogam, ton dan seterusnya?
  9. Berapa angka pecahan yang biasa dicatat dan paling banyak digunakan secara umum.
  10. Format apa yang digunakan untuk angka misalnya untuk menabung, dan menghitung hutang/kredit bank?
  11. Berapa harga barang pokok yang penting dari masyarakat local dan berapa beratnya?
  12. Apakah masyarakat menggunakan system tradisional atau modern untuk menimbang atau mengukur? Apakah disana menggunakan pengkurang yang sederha?apakah masyarakat juga mengerahui tentang pemasaran?
  13. Jenis keterampilan apa yang dibutuhkan atau yang diiginkan?

Bersamaan dengan penyelenggaraan keaksaraan fungsional yang disertai dengan pemberian jenis keterampilan hidup bagi warga belajar. Pada pengembangan model dologi pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan bahasa ibu. Oleh sebab itu pengembangan model akan dilaksanakan dan diimplementasikan ketika warga belajar mengikuti kegiatan pembelajaran yang berfokus pada keterampilan baca, tulis dan hitung dengan pendekatan bahasa ibu.

*) Abdul Hamid, Pemerhati Pendidikan Nonformal dan informa

Tidak ada komentar:

Feeds

Cari Blog Ini